Selasa, 22 Oktober 2024

Bujukan Moral vs Dilema Etika


Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia di dasarkan pada pelayanan kepada murid dengan semangat keberpihakan pada murid. Semangat pembelajaran yang berpihak pada murid ini selaras dengan filosofi pendidikan gagasan Ki Hajar Dewantara. Berbagai pandangan penyelenggaraan pelayanan pendidikan dari sudut pandang Ki Hajar Dewantara ini berfokus pada pembelajaran yang focus pada murid. Segala tindakan yang diambil dalam pelayanan pendidikan ini selayaknya menjadikan kebutuhan belajar murid sebagai prioritas utama bagi guru dan penyelenggara Pendidikan.

Pada praktiknya, dalam pelayanan pendidikan seorang pendidik terlebih pemimpin pembelajaran di sekolah sering dihadapkan kondisi kurang ideal. Kondisi ini merupakan tantangan yang harus dihadapi kepala sekolah dan perlu diambil tindakan bijak dalam mengambil keputusan. Tantangan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu bujukan moral dan dilema etika. Kedua hal tersebut dapat dibedakan berdasarkan nilai kebajikan yang terdapat dalam suatu situasi. Suatu situasi dapat dikatakan sebagai bujukan moral apabila terdapat dua hal yang bertentangan, dimana satu pihak memiliki nilai kebenaran dan sisi lain bernilai salah. Contoh kondisi bujukan moral yang seringkali muncul dalam kedinasan adalah Ketika pada hari dan jam dinas seorang guru atau aparatur negara memiliki kepentingan pribadi. Jika dilihat dari kacamata kewajiban sebagai karyawan, guru memiliki kewajiban hadir di sekolah dan mengajar yang memiliki nilai kebenaran namun Kegiatan pribadi dari pandangan kedinasan bernilai salah. Dalam kondisi ini, seorang pemimpin sebaiknya bertindak menurut hal yanh bernilai kebenaran. Akan tetapi pemimpin juga dapat membuat kebijakan apabila keperluan pribadi tersebut merupakan hal mendesak dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain seperti menjaga anak atau orang tua yang sakit, seorang pemimpin dapat memberikan ijin untuk karyawan tersebut mengambil cuti.

Dilema etika merupakan situasi Dimana seseorang khususnya pemimpin dihadapkan pada situasi Dimana kedua hal yang akan dihadapi sama-sama memiliki nilai kebenaran. Sekalipun kedua opsi yang tersaji sama-sama memiliki nilai moral benar namun kedua hal tersebut saling bertolak belakang. Situasi dilema etika ini dapat terjadi dalam empat paradigma yaitu individu lawan kelompok, rasa keadilan lawan rasa kasihan, kebenaran lawan kesetiaan, dan jangka pendek lawan jangka panjang. Salah satu contoh peristiwa yang merupakan dilema etika adalah ketika seorang pemimpin pembelajaran berada pada posisi harus memilih antara dinas mengajar di sekolah dengan dinas luar mengikuti pelatihan sesuai surat tugas yang diberikan oleh Dinas Pendidikan. Pada satu sisi hadir disekolah untuk mengajar memiliki nilai kebenaran dan mengikuti pelatihan atas undangan dan surat tugas dari Dinas Pendidikan juga bernilai benar.

Dalam menghadapi bujukan moral maupun dilema etika seorang pemimpin dapat mempergunakan tiga prinsip dalam pengambilan keputusan yaitu berpikir berbasis hasil akhir, berpikir berbasis peraturan dan berpikir berbasis rasa peduli. Untuk pengambilan keputusan yang paling tepat dengan berbagai kasus bujukan moral dan dilema seorang pemimpin pembelajaran dapat menggunakan sembilan langkah pengambilan keputusan yaitu mengenali nilai-nilai yang sering bertentangan, menentukan siapa yang terlibat dalam suatu kondisi yang dihadapi, mengumpulkan fakta yang relevan dengan situasi yang dihadapi kemudian melakukan pengujian benar salah, menguji paradigma benar lawan benar lalu melakukan prinsip resolusi, menginvestigasi opsi trilema, baru kemudian membuat keputusan, melihat lagi keputusan dan merefleksikan.

Mengenali nilai-nilai yang sering bertentangan penting untuk dilakukan karena kita perlu mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan memastikan bahwa masalah berkaitan dengan  aspek moral bukan hanya berkhubungan dengan sopan santun dan norma sosial. Selanjutnya menentukan siapa yang terlibat artinya jika masalah menyangkut factor moral, selayaknya semua elemen sekolah merasa terpanggil. Kemudian mengumpulkan fakta yang relevan yaitu bagaimana hal itu diketahui, apa kejadian yang mengikutinya, siapa berkata apa pada siapa, kapan mereka mengungkapkannya. Pengujian benar atau salah adalah langkah selanjutnya yang harus dilakukan dengan tiga acara pengujian yaitu uji Intuisi terkait dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yaitu menonfirmasi tentang prinsip-prinsip yang mendalam, atau uji publikasi, berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking), dan uji Panutan/Idola berhubungan dengan berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking),dengan meletakkan diri berada pada posisi orang lain. Namun apabila kasus yang dihadapi merupakan kondisi benar lawan benar yang termasuk dalam dilema etika maka tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah pengujian benar lawan benar dengan menguji paradigma benar lawan benar yang terjadi.

Paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika dapat dibedakan menjadi empat kategori yaitu: Individu lawan kelompok (individual vs community), Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term). Paradigma individu lawan kelompok adalah pertentangan antara individu lawan sebuah kelompok yang lebih besar di mana individu ini juga menjadi bagiannya. Paradigma ini, bisa juga berhubungan dengan konflik antara kepentingan pribadi lawan kepentingan orang lain, atau kelompok kecil lawan kelompok besar. Paradigma kedua adalah paradigma keadilan lawan rasa kasihan Dimana seseorang dihadapkan pada pilihan mengikuti aturan tertulis atau tidak mengikuti aturan sepenuhnya. Kita bisa memilih untuk berlaku adil dengan memperlakukan hal yang sama bagi semua orang, atau membuat pengecualian dengan alasan kemurahan hati dan kasih sayang. Terkadang memang benar untuk berpegang teguh pada peraturan, tapi terkadang membuat pengecualian juga tindakan yang benar.

Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Kadang kita harus memilih antara jujur atau setia (atau bertanggung jawab) kepada orang lain. Apakah kita akan jujur menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita akan menjunjung nilai kesetiaan pada profesi, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya. Paradigma jangka pendek lawan jangka Panjang paling sering terjadi dan mudah diamati. Seringkali kita harus memilih keputusan yang kelihatannya terbaik untuk saat ini atau yang terbaik untuk masa yang akan datang. Paradigma ini bisa terjadi pada hal-hal yang setiap harinya terjadi pada kita, atau pada lingkup yang lebih luas misalnya pada isu-isu dunia secara global, misalnya lingkungan hidup dan lain lain.

Berikutnya memilih resolusi yang akan dipakai yaitu berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking, berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking), ataukah berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking). Lalu melakukan investigasi opsi Trilema yang memunculkan penyelesaian kreatif dan tidak terpikir sebelumnya. Kemudian membuat keputusan dan meninjau kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya yang merupakan Langkah terakhir  yaitu lihat lagi keputusan dan refleksikan.

Selasa, 03 September 2024

Pembelajaran berdiferensiasi Tantangan Guru Kemudahan Murid

Melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid merupakan kalimat yang seringkali kita dengarkan ketika kita mempelajari Kurikulum terbaru yang diselenggarakan di Indonesia. Kurikulum pada awal peluncurannya dikenal dengan Kurikulum Merdeka. Nama kurikulum tersebut menimbulkan berbagai tanya tak hanya dalam kalangan pendidikan, masyarakat umum juga terhenyak mendengar nama kurikulum merdeka yang berbeda dari nama-nama kurikulum sebelumnya. Keberpihakan pada murid merupakan semangat penting yang tidak dapat dipisahkan dengan kurikulum ini.

Keberpihakan pada murid yang dimiliki oleh kurikulum merdeka memunculkan adanya pembelajaran yang menghargai keberagaman murid. Sebagai makhluk hidup yang memiliki keunikan tersendiri manusia memiliki beragam faktor pembeda diantara mereka. Faktor pembeda ini berusaha untuk dihargai dan difasilitasi melalui kurikulum merdeka dengan melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi. Penghargaan terhadap pembelajaran ini juga termuat dalam profil pelajar yang diharapkan terbentuk seiring dengan berlangsungnya pembelajaran dengan kurikulum merdeka ini. Profil pelajar yang dimaksud adalah profil pelajar Pancasila yang didalamnya terdapat satu profil yang diharapkan dapat terbentuk yaitu berkebinekaan global. Berkebhinekaan global ini mengispirasi pola pengajaran guru untuk menghargai keberagaman dengan menyajikan pembelajaran berdiferensiasi.

Diferensiasi pembelajaran murid ini dapat dilakukan dalam 3 cara yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses dan diferensiasi produk. Diferensiasi konten merupakan cara penyajian pengajaran dengan memberikan bahan belajar bagi murid yang beragam. Keragaman konten misalnya dengan memberi bahan belajar  berupa video pembelajaran, rekaman berita radio, artikel, maupun teks tertulis lain seperti infografis. Diferensiasi proses adalah perbedaan aktivitas belajar murid sesuai dengan perbedaan yang terdapat pada murid. Sedangkan diferensiasi produk adalah fasilitas menampilkan hasil kerja murid dalam beragam media yang sesuai dengan kondisi yang diharapkan murid.

Dalam rangka melakukan diferensiasi pembelajaran, seorang guru hendaknya terlebih dahulu memahami kebutuhan belajar murid. Dalam buku How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom karya Tomlinson (2001) kebutuhan belajar murid dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

  1. Kesiapan belajar (readiness)
  2. Minat murid
  3. Profil belajar murid

Kesiapan belajar murid merupakan kemampuan dasar murid untuk dapat mempelajari materi baru. Dalam mengukur kesiapan murid, kita dapat mengukur dari 6 aspek dengan mengetahui jawaban tentang dari pertanyaan-pertanyaan berikut yaitu 

  1. Apakah murid telah memahami materi yang akan dipelajari atau menganggap materi yang akan dipelajari sebagai materi baru?
  2. Apakah murid masih memerlukan alat bantu konkret atau telah mampu berpikir tentang hal-hal abstrak?
  3. Apakah murid perlu belajar materi yang sederhana atau telah mampu mempelajari materi yang rumit?
  4. Apakah murid masih memerlukan informasi terinci ataukah telah siap mencoba menggunakan ide kreatifnya?
  5. Apakah murid telah mampu mandiri ataukah masih memerlukan pendampingan?
  6. Apakah murid memerlukan waktu lebih lama untuk belajar hal baru ataukah dapat menyelesaikan pembelajaran dengan lebih cepat?

Kesiapan belajar tersebut bukanlah tingkat intelegensi murid, namun lebih pada pengusaan murid tentang hal yang akan dipelajari. Kesiapan belajar tersebut dapat berbeda antara satu materi dengan materi lainnya. Dengan menyelidiki tingkat kesiapan murid tersebut, kita akan dapat mengelompokkan murid dalam kelompok kesiapan belajar yang berbeda.  

Faktor kedua yang dapat dijadikan dasar diferensiasi pembelajaran murid adalah minat murid, yaitu kondisi mental untuk merespon situasi yang menyenangkan bagi diri seorang murid. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk menarik minat murid adalah:

  • menciptakan situasi pembelajaran yang menarik seperti dengan humor atau menciptakan kejutan-kejutan.
  • menciptakan konteks pembelajaranterkait minat murid, 
  • mengomunikasikan manfaat materi yang dipelajari dalam keseharian,
  • menciptakan kesempatan murid untuk memecahkan persoalan (problem-based learning).

Terakhir adalah profil belajar murid atau lebih sering kita sebut sebagai gaya belajar. Gaya belajar umum dibedakan menjadi 3 macam yaitu auditori, visual, dan kinestetik. Orang yang memiliki gaya belajar auditori menyukai belajar yang melibatkan indra pendengaran, mereka juga memiliki kecenderungan untuk belajar ditempat yang tenang, karena suara-suara yang tidak berkaitan dengan hal yang dipelajari akan menggangu aktifitas belajar mereka. Gaya belajar visual dimiliki oleh orang-orang yang menyukai sumber belajar berupa gambar, menampilkan diagram, power point, catatan, peta, graphic organizer.  Sedangkan mereka yang menyukai belajar secara kinestetik memerlukan kegiatan bergerak dan pengalaman taktikal sebagai pengalaman belajar dengan melakukan yang mereka sukai. 

Setiap murid yang kita hadapi dapat memiliki profil belajar yang berbeda-beda, bahkan dapat memiliki perpaduan diantara ketiga gaya belajar tersebut.  Salah satu cara mengetahui faktor kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar tersebut adalah dengan melakukan Pra-Asesmen. Beberapa cara yang dapat dikerjakan untuk melakukan Pra-Asesmen adalah meminta murid mengikuti pre-test,  survei minat, kuis informal, menyusun peta konsep, membuat bagan T-I-B (Apa yang aku Tahu, Ingin tahu, dan telah Belajar), ataupun berdiskusi antara murid dan guru. 

Pembelajaran diferensiasi itu dapat memudahkan murid dalam menyusun pemahamannya tentang materi yang dipelajari karena dapat mengakomodir kebutuhan belajar mereka. Namun bagi guru, memerlukan konsentrasi dan perhatian yang lebih dalam penyelenggaraan pendidikan. Demikian informasi yang dapat saya terkait pembelajaran berdiferensiasi, semoga menginspirasi kita untuk menyelenggarakan pendidikan berdiferensiasi secara berkesinambungan demi pendidikan di Indonesia.  

Selasa, 25 Juni 2024

Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh penting dalam perjuangan Bangsa Indonesia. Pendidikan merupakan jalur perjuangan yang dipilih oleh Ki Hajar Dewantara. Perjuangan dalam bidang pendidikan tak dapat dipandang sebelah mata. Perjuangan ini lahir akibat kurangnya kemudahan memperoleh pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia pada awalnya hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan penjajah akan tenaga kerja. Masyarakat Indonesia hanya memperoleh pendidikan ala kadarnya yang membuat mereka terbatas dalam keikutsertaan dalam pemerintahan.

Kondisi miris tersebut, membuka mata Ki Hajar Dewantara untuk tergerak mendirikan Taman Siswa demi membuka akses lebih lebar pada pendidikan. Taman siswa menyelenggarakan pendidikannya menggunakan sistem among. Sistem among tersebut merupakan gagasan dari Ki Hajar Dewantara. Kini, kita mengenal sistem among tersebut dengan "Ing ngarso sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Sistem among gagasan Ki Hajar Dewantara tersebut mengamatkan kita para guru untuk mampu menjadi teladan, pembimbing, dan pemberi semangat dalam kegiatan pengajaran yang kita lakukan. Kita harus dapat menjadi contoh baik bagi murid, membersamai proses bertumbuh seorang murid, dan memantau serta memberikan dorongan semangat agar murid dapat berkembang melalui proses pengajaran.

Dalam proses pengajaran, Ki Hajar Dewantara mengibaratkan sebagai suatu usaha pertanian. Pada perumpamaan itu, guru berperan sebagai petani dan murid merupakan benih. Dalam usaha pertanian tersebut, guru berlaku sebagai petani yang bertugas berupaya menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pertumbuhan terbaik murid. Pertumbuhan yang dimaksud adalah perkembangan pengetahuan dan kemampuan terbaik yang dimiliki oleh murid, dan menekan semaksimal mungkin faktor penghambat pertumbuhan. Pun demikian, hasil dari kegiatan pertanian tersebut bergantung juga terhadap kemampuan dan kemauan benih itu sendiri.

Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Penyelarasan terhadap kodrat alam penting dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh murid sejalan dengan potensi sumber daya maupun kondisi sosio kultural murid. Hal ini perlu agar pengetahuan yang diperoleh murid pada akhirnya mampu mengantarkan mereka mencapai kesuksesan. Potensi atau kondisi murid yang berubah sesuai dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat dari waktu ke waktu merupakan cakupan dari kodrat zaman. Kodrat zaman ini menuntut seorang guru mampu menyesuaikan cara dan pendekatan dalam penyajian pendidikan yang dapat diterima dengan mudah oleh murid.

Sebelum memahami filosofi pendidikan yang telah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut, saya sering merasa terbebani apabila ada satu atau dua murid yang tidak mampu menguasai pelajaran yang telah saya sajikan. Saya juga memiliki kecenderungan menyajikan proses pengajaran tanpa mempertimbangkan kebergunaan mateei terhadap kelangsungan hidup murid nantinya di masyarakat. Bahkan saya juga sempat memiliki pandangan bahwa belajar tidak memerlukan variasi, saya kurang memperhatikan tentang kebutuhan, kegemaran, dan gaya belajar  murid yang beragam. Akan tetapi dalam hal 3 sistem among Ki Hajar Dewantara, saya telah sering melakukan seperti pemberian teladan bagi murid dalam kedisiplinan, senantiasa membersamai murid belajar, dan menaburkan semangat belajar kepada murid dalam segala kesempatan.

Selanjutnya, saya bertekad untuk menerapkan pembelajaran dengan memperhatikan kesesuaian materi dengan kebutuhan hidup murid dalam kesuksesan kehidupannya kelak, saya juga akan berupaya menyesuaikan cara penyajian hang sesuai dengan perkembangan zaman di bidang teknologi, dan bersungguh-sungguh memyajikan pembelajaran yang terbaik agar murid dapat berkembang sesuai dengan kemampuan terbaiknya.